Sejarah mausia telah dilewati oleh peradilan-peradilan besar, tetapi ada
satu peradilan terbesar yang diketahui oleh sejarah, yaitu peradilan yang
terjadi di kota Samarkand.
Samarkand adalah sebuah kota besar, yang sekarang menjadi salah satu bagian
dari Republik Rusia (salah satu Propinsi di Uzbekistan), dekat dengan Cina.
Penduduk Samarkand kala itu memiliki pasukan yang kuat. Mereka adalah para
penyembah berhala yang mereka buat sendiri dari bebatuan yang disemati dengan
permata. Berhala-berhala itu ada pada kuil di puncak gunung. Dan kuil itu
tergolong kuil khusus bagi para biarawan. Adapun selain mereka, maka mereka
memiliki kuil-kuil kecil yang tersebar d tengah Samarkand.
Kala itu, yang menjadi khalifah adalah Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah ,
sedangkan panglima kaum muslimin adalah Qutaibah bin Muslim. Pasukannya adalah
pasukan yang paling kuat di dunia, dan berita kekuatan pasukan tersebut telah
sampai juga ke negeri Cina.
Pada tahun 87 H (705 M), pasukan kaum muslimin merangsek menuju Samarkand.
Tatkala mereka telah sampai di tempat-tempat tinggi Samarkand, sang Panglima,
Qutaibah bin Muslim memerintahkan pasukannya untuk bersembunyi di balik gunung
agar penduduk Samarkand tidak melihat pasukan kaum muslimin lalu mempertahankan
diri dari mereka. Kemudian kaum muslimin menyerang kota tersebut dengan seluruh
batalyon pasukan dari balik gunung. Seakan-akan mereka adalah badai, karena
kedahsyatan dan kecepatannya. Tiba-tiba saja mereka telah berada di tengah kota
Samarkand, menundukkannya seraya bertakbir menyebut asma Allah. Maka penduduk
Samarkand tidak memiliki kekuatan apapun kecuali harus menyerah total.
Sementara para biarawan lari menuju kuil besar di puncak gunung, dan penduduk
kota Samarkand bersembunyi di dalam rumah-rumah mereka. Mereka tidak keluar
karena takut terhadap kaum muslimin, dan suasana pun dikuasai kaum muslimin.
Karena takutnya penduduk Samarkand terhadap pasukan penakluk tersebut,
mereka menyuruh anak-anak kecil untuk mencari air dan makanan. Kaum muslimin
tidak menghalangi mereka, bahkan mereka membantu anak-anak tersebut dengan
membawakan air serta makanan, lalu anak-anak itu masuk ke dalam rumah-rumah
keluarganya dengan penuh kegembiraan seraya membawa makanan dan air.
Mulailah ketentraman dan ketenangan masuk ke dalam hati penduduk kota. Tidak
beberapa lama setelah itu, penduduk Samarkand kembali kepada tempat-tempat
niaga, pertanian, dan milik mereka. Keberadaan semua itu seperti semula, tidak
berkurang sedikitpun. Kemudian mulailah kehidupan normal berjalan antara kaum
muslimin dan penduduk Samarkand dengan perniagaan. Mereka mendapati bahwa kaum
muslimin adalah orang-orang yang terpercaya dalam niaga, tidak berdusta, tidak
menipu dan tidak berbuat zhalim. Kekaguman itu semakin bertambah dengan adanya
perselisihan antara dua orang, satu dari penduduk Samarkand dan yang lain dari
kaum muslimin. Ketika keduanya pergi ke Qodhi (hakim), maka Qodhi itu pun
memenangkan kasus itu untuk orang Samarkand.
Lalu sampailah berita tersebut ke para rahib yang lari dan bersembunyi di
kuil. Lalu mereka berkata,’Jika Qodhi mereka adil, maka pastilah khalifah
mereka itu juga adil.’ Maka mereka mengutus salah seorang dari mereka untuk
pergi menghadap khalifah kaum muslimin, Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah ,
lalu mengabarkan kepada beliau tentang apa yang terjadi terhadap mereka karena
pasukan kaum muslimin.
Lalu pergilah utusan mereka, seorang pemuda, hingga sampai di Damaskus
dengan dada penuh rasa ketakutan. Saat dia melihat sebuah istana besar, dia
berkata dalam hatinya,’Sesungguhnya ini adalah istana pemimpin mereka.’ Akan
tetapi saat dia melihat manusia masuk dan keluar tanpa penghalang dan
pengawasan, dia terdorong untuk masuk, lalu dia pun masuk sementara dia tidak
tahu bahwa tengah memasuki masjid Umawi yang disemati batu-batu mulia, dan hiasan-hiasan
keIslaman, dan tempat-tempat adzan yang menjulang. Kemudian dia mendapati
manusia ruku’ dan sujud, lalu dia perhatikan tempat yang indah tersebut, dimana
dia lihat kaum muslimin berbaris lurus dan rapi. Dia tercengang, bagaimana
jumlah besar ini berbaris dengan begitu cepatnya?
Setelah kaum muslimin selesai shalat, dia berdiri, lalu menuju salah seorang
muslim dan bertanya tentang istana Khalifah, ‘Di mana pemimpin kalian.’ Sang
muslim menjawab, ‘Dia tadi yang shalat mengimami manusia, tidakkah kamu
melihatnya?’
Dia menjawab,’Tidak.’
Muslim itu berkata,’Bukankah Engkau tadi shalat bersama kami?’
Dia menjawab,’Apa itu shalat?’
Muslim itu bertanya,’Bukankah Engkau seorang muslim?’
Dia menjawab,’Tidak’
Muslim itu tersenyum kemudian bertanya lagi,’Apa agamamu?’
Dia menjawab,’Agamanya para dukun Samarkand.’
Muslim itu bertanya,’Apa agama mereka?’
Dia menjawab,’Mereka menyembah patung.’
Muslim itu berkata,’Kami kaum muslimin menyembah Allah ‘azza wa jalla, tidak
menyekutukan-Nya dengan apapun.’
Orang muslim itu memberikan arah rumah Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang
mukmin). Lalu pemuda itu pergi menurut arahan tersebut. Dia mendapati sebuah
rumah kuno dari tanah. Dan dia dapati ada seorang laki-laki di sisi tembok
tengah memperbaiki temboknya, sementara bajunya penuh dengan kotoran tanah.
Maka dia kembali kepada orang muslim tadi di masjid seraya berkata,’Apakah kamu
mengejekku (mempermainkanku)? Aku bertanya kepadamu tentang pemimpin kalian,
lalu kamu kirim aku kepada seorang fakir yang tengah memperbaiki tembok
rumah?!’
Maka seorang muslim itu berdiri bersama pemuda tersebut hingga sampai ke
rumah Khalifah Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Amirul Mukminin. Lalu orang muslim itu
memberikan isyarat,’Dialah sang pemimpin yang tengah memperbaiki tembok.’ Maka
pemuda itu berkata,’Janganlah kamu mempermainkan aku dua kali.’
Berkatalah orang muslim itu,’Demi Allah, dialah Khalifah.’
Kagetlah sang pemuda, seraya teringat dukun-dukunnya yang sombong terhadap
manusia. Di saat dia terheran-heran sambil mengamati, datanglah seorang wanita
bersama putranya. Wanita itu meminta kepada Amirul Mukminin untuk menambah
jatah pemberian kepadanya dari baitul mal kaum muslimin, karena anaknya banyak.
Di saat wanita itu berbicara, anaknya bertengkar dengan anak Amirul Mukminin
karena suatu mainan. Lalu anaknya memukul kepala anak Amirul Mukminin, hingga
darahpun mengalir dari kepalanya. Lantas istri Amirul Mukminin cepat-cepat
mengambil putranya sambil berteriak keras kepada wanita tersebut. Maka wanita
itu ketakutan karena perbuatan putra kecilnya terhadap putra Amirul Mukminin.
Kemudian Amar bin ‘Abdil ‘Aziz masuk ke dalam rumah, lalu membalut kepala
putranya, kemudian keluar menemui wanita itu seraya menenangkannya dari
ketakutan, lalu mengambil mainan dari putranya dan memberikannya kepada anak
wanita tersebut. Kemudian dia berkata,’Pergilah kepada bendahara, katakana
kepadanya agar dia menaikkan pemberian kepadamu.’ Maka istri Amirul Mukminin
berkata,’Putramu telah terpukul, kemudian engkau menaikkan harta jatah untuknya
serta member hadiah mainan kepada putranya?’ Umar bin ‘Abdil ‘Aziz
menjawab,’Engkau telah membuatnya takut, sementara Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda,’Siapa yang membuat seorang muslim ketakutan,
maka Allah akan membuatnya ketakutan pada hari kiamat…’ Kemudian dia
melanjutkan pembenahan tembok.
Pemuda Samarkand tersebut melihat pemandangan itu dengan sangat
terheran-heran. Di sinilah dia berani untuk maju dengan langkah pelan menuju
Umar bin ‘Abdil ‘Aziz seraya berkata ,’Anda pemimpin kaum muslimin?’
Sang Amir menjawab,’Ya, apa keperluanmu?’
Dia berkata,’Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku terzhalimi.’
Sang Amir pun berkata,’Atas siapa kamu mengadukan perkara.’
Dia menjawab,’Atas Qutaibah bin Muslim.’
Maka Sang Amir tahu bahwa itu bukan pengaduan antara dua orang.
Maka pemuda utusan itu meneruskan pengaduannya,’Paara dukun Samarkand telah
mengutusku, dan mereka mengabarkan kepadaku bahwa di antara kebiasaan kalian
adalah ketika kalian ingin membuka negeri manapun, kalian akan memberikan kepada
mereka tiga pilihan, kalian ajak mereka kepada Islam, atau membayar jizyah,
atau perang.’
Sang Khalifah menjawab,’Ya dan termasuk hak negeri itu adalah memilih satu
di antara tiga pilihan tersebut.’
Pemuda itu berkata keheranan,’Dan bukan termasuk hak kalian untuk memutuskan
(sepihak), mengagetkan, dan menyerang?!’
Sang Khalifah menjawab,’Ya, Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah kami
demikian, dan Rasul kami telah melarang kami dari kezhaliman.’
Pemuda itu berkata,’Adapun Qutaibah bin Muslim tidak melakukannya, bahkan
dia dan pasukannya telah mengagetkan kami.’
Tatkala sang khalifah mendengar hal itu, dia tidak mengeluarkan perintah
apapun. Bukan termasuk kebiasaannya mendengar hanya dari satu pihak. Dia harus
meyakinkan hal itu.
Dia pun mengeluarkan satu kertas kecil, lalu menulis dua baris kalimat,
kemudian menutup dan menyetempelnya, lalu berkata kepada pemuda itu, ‘Kirimkan
ini kepada Gubernur Samarkand, dia akan mengangkat kezhaliman dari dirimu.’
Pemuda itupun pergi dari Damaskus menuju Samarkand, dengan melintasi jarak
jauh tersebut melalui padang pasir dan gunung-gunung, dengan berkata,’Kertas,
apa yang bisa dia lakukan di hadapan pasukan kaum muslimin?’ Saat dia sampai di
Samarkand, dia beritakan apa yang terjadi kepada dukun. Maka mereka pun berkata
kepadanya,’Berikan kertas itu kepada Gubernur.’ Maka pemuda itu memberikannya
kepada gubernur. Guberbur merasa aneh dan heran dengan surat itu. Akan tetapi
dia mengenal stempel Amirul Mukminin, maka dia pun meyakinkan dirinya bahwa
surat itu benar dari Khalifah, kemudian membukanya. Dan ternyata yang tertulis
di dalamnya adalah:
‘Dari Amirul Mukminin kepada Gubernur Samarkand. Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabaraktuhu. Angkatlah seorang hakim yang akan memberikan
peradilan antara dukun Samarkand dan Qutaibah bin Muslim, dan jadilah kamu
mengganti kedudukan Qutaibah.’
Maksud dari “jadilah kamu mengganti kedudukan Qutaibah” adalah janganlah
mengganggu Qutaibah yang sibuk melakukan penaklukan ke beberapa negeri. Dia
sudah cukup sibuk, karena itu wakililah dia.
Gubernur mengangkat seorang hakim dengan cepat. Akan tetapi sang hakim
bersikeras untuk menghadirkan Qutaibah karena perhatiannya terhadap keadilan,
serta kekhawatirannya, bahwa ada perkara samar atas gubernur yang tidak
mengetahuinya kecuali Qutaibah. Maka dia menentukan janji hingga Qutaibah bisa
hadir.
Kala itu Panglima Qutaibah bin Muslim telah menyelesaikan perjalanannya, dan
telah dekat dengan Cina untuk menaklukkannya. Kemudian datanglah perintah
hakim, maka dia kembali setelah menempuh perjalanan panjang. Saat para dukun
itu mengetahui kedatangan Qutaibah, mereka mulai mengucurkan keringat. Sebelum
Qutaibah masuk masjid yang di dalamnya akan diadakan peradilan, dia letakkan
pedangnya dan menanggalkan sandalnya, kemudian berjalan menuju depan hakim,
lalu sang hakim berkata.’Duduklah kamu di sisi penuntutmu.’
Peradilan pun di mulai:
Pembesar dukun berdiri seraya berkata,’Sesungguhnya Qutaibah bin Muslim
masuk ke negeri kami tanpa peringatan. Seluruh negeri telah dia beri peringatan
dan pilihan, dakwah kepada Islam, atau membayar jizyah, atau perang, kecuali
kami, dia menyerang kami tanpa peringatan.’
Maka hakim menoleh kepada Panglima Penakluk, Qutaibah bin Muslim seaya
berkata,’Apa bantahanmu atas pengaduan ini?’
Berkatalah Qutaibah,’Mudah-mudahan Allah memperbaiki urusan sang hakim.
Peperangan itu adalah tipu daya, negeri ini adalah negeri yang besar. Seluruh
negeri sebelumnya melawan, mereka tidak ridha dengan jizyah dan tidak ridha
dengan Islam. Seandainya kami memerangi mereka setelah peringatan, maka mereka
akan membunuh kami lebih banyak dari apa yang kami bunuh di tengah mereka. Dan
alhamdulilah, dengan cara mengagetkan ini, kami telah melindungi kaum muslimin
dari bahaya besar, sebagaimana juga akan menjadi mudah bagi kami untuk menaklukkan
negeri-negeri setelahnya. Jika kami mengagetkan mereka, maka sesungguhnya kami
telah menyelamatkan mereka dan memasukkan mereka ke dalam keselamatan.’
Sang hakim berkata,’Wahai Qutaibah, apakah kamu telah mengajak mereka kepada
Islam atau jizyah atau perang?’
Qutaibah menjawab,’Tidak, bahkan kami mengagetkan mereka karena bahaya besar
mereka.’
Berkatalah sang hakim,’Wahai Qutaibah, aku telah memutuskan, dan atasnya
peradilan selesai. Wahai Qutaibah, tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menolong
umat ini kecuali denga agama, menjauhi pengkhianatan, dan menegakkan keadilan.
Demi Allah, tidaklah kita keluar dari rumah-rumah kita kecuali karena berjihad
di jalan Allah. Kita tidak keluar untuk menguasai bumi, dan menipu negeri
kemudian berjaya di dalamnya tanpa hak.’
Kemudian sang hakim memutuskan perkara,’Aku memutuskan agar seluruh pasukan
kaum muslimin keluar dari negeri ini, dan mengembalikannya kepada penduduknya,
serta memberikan mereka kesempatan untuk bersiap-siap perang, kemudian
memberikan mereka pilihan antara Islam, jizyah dan perang. Jika mereka memilih
perang, maka perang. Dan hendaknya seluruh kaum muslimin semuanya keluar dari
Samarkand dengan berjalan kaki sebagaimana mereka memasukinya (yaitu tanpa
hasil perniagaan) dan menyerahkan kota ini kepada penduduknya. Yang demikian
itu demi melaksanakan syariat Allah subhanahu wa ta’ala dan sunnah Nabi-Nya
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam .’
Mulailah kaum muslimin keluar dari kota tersebut, bahkan sang hakim pun
berdiri dan keluar di hadapan pandangan para dukun.
Para dukun tidak mempercayai perkara tersebut, dan mereka merasa seakan-akan
tengah berada dalam mimpi. Para penduduk Samarkand melihat kaum muslimin keluar
dari kota hingga kota sunyi dari kaum muslimin semuanya.
Maka pemuda utusan para dukun itu berakata,’Demi Allah, agama mereka
benar-benar agama yang hak. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak
selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.’
Tidak lama setelah itu para dukun pun membaca kalimat syahadat (masuk
Islam), kemudian seluruh penduduk Samarkand pun masuk Islam dan meminta kepada
kaum muslimin untuk kembali ke kota seraya mengatakan,’Kalian adalah
saudara-saudara kami.’
Itulah kisah peradilan terbesar yang diketahui oleh sejarah masa lalu dan
masa sekarang. Itu adalah satu lembar dari sekian banyak lembaran sejarah
keIslaman kita yang membuktikan keadilan Islam dalam segala situasi, baik
terhadap sesama muslim maupun kepada selain muslim. Itu adalah satu gambaran
dari banyak gambaran keadilan Islam yang hilang dan dihilangkan dari
kemanusiaan.
Jika ini adalah perlakuan kami terhadap selain ahli kitab (Yahudi dan
Nasrani) maka bagaimana pula perlakuan kami terhadap ahli kitab yang Allah
?????? ?????? memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada mereka?! Jika ini adalah
perlakuan kami kepada orang-orang yang tidak boleh menikahinya, dan memakan
sembelihan mereka, lalu bagaimana perlakuan kami kepada orang yang halal
wanitanya dan sembelihannya? Sesungguhnya keadilan Islam, dan toleransinya
telah disembunyikan oleh gereja-gereja dan para pendeta, kemudian mereka
menggambarkan Islam kepada para pengikutnya bahwa Islam adalah agama zhalim,
garang, bengis, kejam, lagi buas. Akan tetapi dengan sedikit akal dan
obyektifitas, manusia akan sampai kepada hakikat sebenarnya, apapun agamanya.
(AR) [*]
Sumber:
-Syaikh Ali Thanthawi, Qashah Min al-Tarikh; Qisshah Qadhiyyah Samarkand
-Khutbah “Samahatul Islam” oleh Syaikh Muhammad Hassan -dll
Ditulis oleh: Syaikh Mamduh Farhan al Buhairi, Majalah Qiblati edisi 09
tahun V